Rabu, 18 April 2012

Sejarah Campursari


Sejak zaman prasejarah, masyarakat Jawa telah mengenal seni. Kurang lebih 2000-1000 tahun sebelum Masehi, yaitu pada akhir zaman mesolitikum telah dikenal barang-barang seni yang dibuat dari batu berupa perhiasan seperti cincin, kalung, gelang, patung-patung kecil, dan lain-lain. Barang-barang yang mereka ciptakan, digunakan untuk peralatan upacara persembahan kepada yang gaib.

Kesenian tidak hanya terpaku pada satu jenis, begitupun halnya dengan kesenian Jawa. Kesenian Jawa itu sendiri terbagi ke dalam beberapa kategori, antara lain seni tari, seni musik, dan lainnya. Jaap Kunst, seorang musikologis Belanda yang terkenal, mengumpulkan bahan untuk karyanya yang mendalam tentang musik Jawa selama akhir tahun 1910-an dan 1920-an. Pada tahun 1934 ia meninggalkan Hindia Belanda dan pulang ke negeri Belanda. Pada tahun yang sama, terbit dua jilid bukunya mengenati teori dan tekhnik musik Jawa, Kunst pesimis terhadap masa depan musik Indonesia.

Musik Indonesia terdiri dari berbagai jenis, salah satu jenis musik yang berasal dari daerah Jawa adalah Campursari. Genre musik campursari merupakan salah satu bentuk hasil kreasi anak bangsa terhadap gamelan. Campursari telah melalui masa kejayaannya, namun kini harus mengalami stagnasi. Pada awal kemunculannya, campursari sempat mengundang pro dan kontra dari berbagai kalangan. Satu pihak berpendapat bahwa campursari dapat merusak tradisi, namun pihak lain menyatakan bahwa inovasi dalam campursari mutlak diperlukan agar musik ini bisa diterima di berbagai kalangan, tidak hanya warga negara Indonesia namun juga dalam tingkat mancanegara.

Sejarah Musik Campursari
Secara harfiah campursari artinya campur aduk, campur baur atau gabungan dari beraneka macam dan ragam. Campursari merupakan salah satu bentuk kesenian musik yang hidup berasal dari Jawa. Bentuk musik ini merupakan perpaduan permainan alat musik  berskala nada pentatonis (tradisional Indonesia) dan berskala nada diatonis (Barat), dimana dalam musik ini para seniman mencoba memadukan dua unsur musik yang berbeda untuk dapat memunculkan suatu bentuk musik yang baru.Campursari ini konon dipopulerkan oleh Ki Narto Sabdo melalui pertunjukan wayangkulit yang dimainkannya, namun musik campursari yang disuguhkannya masih dalam bentuk corak lama yaitu perpaduan gamelan asli dengan keroncong. Sementara campursari yang adasekarang lebih dikenal dengan campursari modern yang dipopulerkan oleh Manthous bersama saudara-saudaranya pada awal tahun 1993.

Manthos dengan kepekaaan musikalitasnya mengadakan inovasi besar-besaran terhadap campursari lama. Ia mencoba menggabungkan alat-alat musik tradisional jawa klasik seperti kendang, gong dan gender dipadu dengan alat musik keroncong seperti ukelele, cak dan cuk, seruling, bass betot, sertainstrument lainnya. Perpaduan alat musik tersebut menghasikan irama yang lumayan enak,terasa komplet, dan ada gregetnya jika dibandingkan irama kroncong maupun gending jawaklasik sebelumnya.Manthos juga mencoba bereksperimen dengan memasukkan instrument pengganti bass betot dan gitar klasik, yaitu dengan memasukkan bass dan gitar elektrik serta keyboard(piano elektrik) untuk menggantikan seruling dan ukelele. 

Kehadiran keyboard ini semakinmenghidupkan musikalitas campursari dan bunyi yang dihasilkan sangat sempurna. Ada lagitambahan berupa seperangkat drum, terciptalah kesempurnaan yang diinginkan dari musik campursari yang sesungguhnya. Selain itu dia juga mengadopsi musik dangdut ke dalammusik campursari ini walaupun tidak secara ekplisit, melainkan dalam beberapa baristertentu. Pada pertengahan tahun 1990-an, muncullah musisi-musisi campursari sepertiMaryati, Waljinah, Ngatirah, serta Didi Kempot


Tokoh Musik Campursari

Manthous
Manthous lahir di Desa Playen, Gunung Kidul pada tahun 1950. Ketika berusia 16 tahun, Manthous memberanikan diri pergi ke Jakarta. Pilihan utamanya adlaah hidup ngamen, yang ia anggap mewakili bakatnya. Namun pada tahun 1969 dia bergabung dengan orkes keroncong Bintang Jakarta pimpinan Budiman BJ. Kemudian pada tahun 1967, Manthous yang juga piawai bermain bas mendirikan grup band Bieb Blues berciri funky rock bersama dengan Bieb, anak Benyamin S. Bieb Blues bertahan hingga tahun 1980. Kemudian Manthous bergabung dengan Idris Sardi, dalam grup Gambang Kromong Benyamin S. selain itu, sebelumnya ia pernah juga menjadi pengiring Bing Slamet ketika tampil melawak dalam Grup Kwartet Jaya. Berbekal dari pengalaman itu, tahun 1993 Manthous mendirikan sendiri Grup Musik Campursari “Maju Lancar” Gunung Kidul. Dari lagu ciptaannya Anting-Anting Getuk, Nyidam Sari, Gandrung dan lainnya, mulai dari sinilah namanya mulai dikenal.

Didi Kempot
Didi Kempot, demikian panggilan akrabnya dari nama asli Didi Prasetyo, yang lahir di Solo 31 Desember 1966. Anak dari Ranto Eddy Gudel, pelawak terkenal dari Solo ini adalah seorang pengamen. Dari sinilah Didi dengan saudaranya, Mamiek Podang mencipta lagu seperti Terminal Tirtonadi, Stasiun Balapan, Cucak Rowo, Tulung, Moblong-Moblong dan lainnya. Lagu campursari Didi tidak hanaya terkenal di dalam negeri melainkan sampai Belanda dan Suriname. Pada awalnya album Didi tidak mendapat respon dari berbagai pihak karena mengusung aliran campursari yang berbeda dengan artis campur sari yang terkenal sebelumnya yaitu Manthous. Tapi pada akhirnya Didi menjadi salah satu icon campursari.



Campursari Sebagai Genre Musik Baru

Tahun 1990-an musik keroncong dan karawitan masih menyimpan masa keemasan dilihat dari fungsinya sebagai seni hiburan yang populer. Pada masa itu mulai ada kreasi-kreasi dari berbagai seni pertunjukan yang menggabungkan kedua jenis seni musik tersebut. Kreasi juga timbul pada masing-masing jenis dengan menciptakan komposisi baru yang tidak lazim dari segi bentuk, irama, laras, dan teknik menyajikannya. Musik keronconcong dankarawitan masih ketat mempertahankan ansambelnya, baik berupa alat dan teknik  bermusiknya.Terlihat sekali seniman-seniman seni musik ini masih setia menggunakan perangkatakustik yang tidak memakai instrumen musik elektronik. 

Seringkali penikmat musik salah sasaran karena meminta lagu yang tidak bisa dilayani grup yang tampil. Ambil saja contoh suatu orkes keroncong tidak dapat menyajikan repertoar lagu/gendhing yang biasa disajikan oleh karawitan/gamelan. Begitupun sebaliknya, suatu grup karawitan tidak bisa menyajikan lagu keroncong atau lagu diatonis lainnya.

Akhirnya munculah musik campursari yang mana merupakan modifikasi alat-alat musik gamelan dikombinasi dengan instrumen-instrumen musik modern. Aransemen musik campursari lebih fleksibel karena mengandung musik tradisional dan modern, sehinggamusik campursari banyak digemari masyarakat dari tingkat masyarakat daerah hingga masyarakat kota.

Jadi musik campursari haruslah memiliki ruh nilai kearifan lokal yang tetap melekat pada musik campursari (intrumen, kostum, dan lagu-lagunya). Akan tetapi, dalam perkembangannya saat ini memang hanya beberapa musisi campursari yang tetap mempertahankan ruh campursari. Sedangkan sebagian besar musisi campursari justru mengabaikan ruh tersebut, sehingga yang muncul kemudian adalah penyimpangan dalam berbagai pentas musik campursari yang membuat efek negatif terhadap musik campursari. Penggarapan karya dan penyajian campursari yang asal-asalan dan mengabaikan nilai-nilai luhur justru akan menjerumuskan musik campursari ke jurang degradasi luhuran kesenian tradisional.



Sumber:
-          www.scribd.com/doc/34102558/Campur-Sari : makalah Keberadaan Musik Campursari dalam Kebudayaan Indonesia oleh Abdul Safiek Bachdar.
-          http://www.keroncong.web.id/article_read.php?a=66 : sejarah campursari.


Selasa, 17 April 2012

Banjir lagi banjir lagi


BANJIR DI KOTA JAKARTA
Banjir Jakarta 2007 adalah bencana banjir yang menghantam Jakarta dan sekitarnya sejak 1 Februari 2007 malam hari. Selain sistem drainase yang buruk, banjir berawal dari hujan lebat yang berlangsung sejak sore hari tanggal 1 Februari hingga keesokan harinya tanggal 2 Februari, ditambah banyaknya volume air 13 sungai yang melintasi Jakarta yang berasal dari Bogor-Puncak-Cianjur, dan air laut yang sedang pasang, mengakibatkan hampir 60% wilayah DKI Jakarta terendam banjir dengan kedalaman mencapai hingga 5 meter di beberapa titik lokasi banjir.
Pantauan di 11 pos pengamatan hujan milik Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) menunjukkan, hujan yang terjadi pada Jumat, 2 Februari, malam lalu mencapai rata-rata 235 mm, bahkan tertinggi di stasiun pengamat Pondok Betung mencapai 340 mm. Hujan rata-rata di Jakarta yang mencapai 235 mm itu sebanding dengan periode ulang hujan 100 tahun dengan probabilitas kejadiannya 20 persen.
Banjir 2007 ini lebih luas dan lebih banyak memakan korban manusia dibandingkan bencana serupa yang melanda pada tahun 2002 dan 1996. Sedikitnya 80 orang dinyatakan tewas selama 10 hari karena terseret arus, tersengat listrik, atau sakit. Kerugian material akibat matinya perputaran bisnis mencapai triliunan rupiah, diperkirakan 4,3 triliun rupiah. Warga yang mengungsi mencapai 320.000 orang hingga 7 Februari 2007.
Sebab
Akibat utama banjir ini adalah curah hujan yang tinggi, dan musim hujan di Indonesia mulai bulan Desember dan berakhir bulan Maret. Pada tahun 2007, intensitas hujan mencapai puncaknya pada bulan Februari, dengan intensitas terbesar pada akhir bulan.[1]
Pengguna Kendaraan menggunakan jasa gerobak untuk menyeberangkan mereka
Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso menyatakan, sebagian wilayah Jakarta Barat di sekitar Kali Angke berstatus siaga satu karena tinggi air 3,75 meter dari ambang batas 3 meter. Wilayah lain berstatus siaga dua dan tiga.
Kemacetan akibat banjir juga terjadi di daerah Cipinang, Jakarta Timur. Di Jalan DI Panjaitan, sepeda motor yang tidak dapat melewati jalan itu berbalik arah dan naik ke jalan tol yang lebih tinggi.
Hujan deras juga menyebabkan tanggul jebol di Banjir Kanal Barat (BKB) persis di aliran Kali Sunter. Air meluber langsung ke perkantoran dan perumahan warga. Tanggul BKB jebol Jumat dini hari, sementara Kali Sunter baru Jumat siang. Akibat tanggul jebol, kawasan Jatibaru-Tanah Abang dan Petamburan tergenang air hingga setinggi 2 meter. Evakuasi warga di Petamburan mengalami kesulitan karena banyak permukiman terletak di antara gang sempit, bahkan tidak muat untuk dilewati perahu karet.
Jalan Kampung Melayu Besar di Jakarta Timur tidak bisa dilewati kendaraan, tetapi warga menyewakan gerobak untuk mengangkut pengendara dan kendaraan roda dua. Sebagian besar Jakarta Utara, mulai dari Marunda, Rorotan, Koja, Kelapa Gading, hingga ke barat, yakni Sunter, Tanjung Priok, Pademangan, Angke, Pluit, dan Kapuk pun terendam banjir. Tinggi genangan bervariasi, 30 sentimeter hingga 1 meter.
Jl Raya Kembangan, Jakarta Barat Digenangi air setinggi lutut orang dewasa hingga lalu lintas yang setiap hari macet dan ramai pada saat itu menjadi sepi dan gelap gulita di malam hari. Hanya kendaraan dengan roda besar, gerobak dan delman yang mampu melewati wilayah itu. Listrik padam selama 3 hari. Air Baru surut pada hari ke empat (Selasa).
Korban
Hingga tanggal 8 Februari 2007, menurut data Polda Metro Jaya jumlah korban meninggal akibat banjir di Jakarta, Depok, Tangerang, dan Bekasi mencapai 48 orang; dan di Bogor sebanyak 7 orang.[3]
Pada tanggal 9 Februari 2007 meningkat menjadi 66 orang, sebagaimana dicatat Kantor Berita Antara: Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana (Bakornas PB) menyatakan sebanyak 66 orang meninggal akibat bencana banjir yang terjadi di tiga provinsi, yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten.[4]
Pada tanggal 10 Februari jumlah korban meningkat menjadi 80 orang. Jumlah ini mencakup korban di tiga provinsi dengan perincian DKI Jakarta 48 orang, Jawa Barat 19 orang, dan Banten 13 orang. [5]





Dampak dan kerugian
Sebuah taksi yang terbalik dan terendam banjir di Jakarta Selatan pada banjir Jakarta 2007.
Seluruh aktivitas di kawasan yang tergenang lumpuh. Jaringan telepon dan Internet terganggu. Listrik di sejumlah kawasan yang terendam juga padam.
Puluhan ribu warga di Jakarta dan daerah sekitarnya terpaksa mengungsi di posko-posko terdekat. Sebagian lainnya hingga Jumat malam masih terjebak di dalam rumah yang sekelilingnya digenangi air hingga 2-3 meter. Mereka tidak bisa keluar untuk menyelamatkan diri karena perahu tim penolong tidak kunjung datang.
Di dalam kota, kemacetan terjadi di banyak lokasi, termasuk di Jalan Tol Dalam Kota. Genangan-genangan air di jalan hingga semeter lebih juga menyebabkan sejumlah akses dari daerah sekitar pun terganggu.
Arus banjir menggerus jalan-jalan di Jakarta dan menyebabkan berbagai kerusakan yang memperparah kemacetan. Diperkirakan sebanyak 82.150 meter persegi jalan di seluruh Jakarta rusak ringan sampai berat. Kerusakan beragam, mulai dari lubang kecil dan pengelupasan aspal sampai lubang-lubang yang cukup dalam. Kerusakan yang paling parah terjadi di Jakarta Barat, tempat jalan rusak mencapai 22.650 m², disusul Jakarta Utara (22.520 m²), Jakarta Pusat (16.670 m²), Jakarta Timur (11.090 m²). Kerusakan jalan paling ringan dialami Jakarta Timur, yang hanya menderita jalan rusak seluas 9.220 m². Untuk merehabilitasi jalan diperkirakan diperlukan dana sebesar Rp. 12 miliar. [6]
Banjir juga membuat sebagian jalur kereta api lumpuh. Lintasan kereta api yang menuju Stasiun Tanah Abang tidak berfungsi karena jalur rel di sekitar stasiun itu digenangi air luapan Sungai Ciliwung sekitar 50 sentimeter.
Sekitar 1.500 rumah di Jakarta Timur hanyut dan rusak akibat banjir. Kerusakan terparah terdapat di Kecamatan Jatinegara dan Cakung. Rumah-rumah yang hanyut terdapat di Kampung Melayu (72 rumah), Bidaracina (5), Bale Kambang (15), Cawang (14), dan Cililitan (5). Adapun rumah yang rusak terdapat di Pasar Rebo (14), Makasar (49), Kampung Melayu (681), Bidaracina (16), Cipinang Besar Selatan (50), Cipinang Besar Utara (3), Bale Kambang (42), Cawang (51), Cililitan (10), dan Cakung (485). [7]
Kerugian di Kabupaten Bekasi diperkirakan bernilai sekitar Rp 551 miliar. Kerugian terbesar adalah kerusakan bangunan, baik rumah penduduk maupun kantor-kantor pemerintah. Selain itu jalan kabupaten sepanjang 98 kilometer turut rusak. Sedikitnya 7.400 hektar sawah terancam puso. [8]
Penyakit
Setelah banjir penyakit infeksi saluran pernapasan, diare, dan penyakit kulit menjangkiti warga Jakarta, terutama yang berada di pengungsian. Ini disebabkan keadaan sanitasi dan cuaca yang buruk [9]
Ditemui pula beberapa kasus demam berdarah[10] dan leptospirosis[11] Sebagai akibat genangan air setelah banjir.



 Pasca bencana
Hingga hampir sepekan pascabanjir, 14 Februari 2007, 20 lampu lalu lintas di seluruh DKI Jakarta masih tidak berfungsi. Matinya lampu lalu lintas menyebabkan arus kendaraan di beberapa kawasan terganggu dan menimbulkan kemacetan. Di Jakarta Pusat lalu lintas di beberapa perempatan tidak dipandu lampu lalu lintas. Di kawasan Roxy, misalnya, lampu lalu lintas tidak berfungsi. Akibatnya, kemacetan terjadi sepanjang pagi hingga menjelang sore. Situasi serupa tampak di kawasan Kra

KESIMPULAN :
Jakarta adalah pusat pemerintahan dan ibu kota Negara kita, jadi sudah saatnya kita sadar untuk menjaga dan merawat kota kesayangan kita dengan sepenuh hati, agar tidak menimbulkan korban ddan kerugian lebih banyak lagi.



Sumber :  www.wikipedia.com