Sejak
zaman prasejarah, masyarakat Jawa telah mengenal seni. Kurang lebih 2000-1000
tahun sebelum Masehi, yaitu pada akhir zaman mesolitikum telah dikenal
barang-barang seni yang dibuat dari batu berupa perhiasan seperti cincin,
kalung, gelang, patung-patung kecil, dan lain-lain. Barang-barang yang mereka
ciptakan, digunakan untuk peralatan upacara persembahan kepada yang gaib.
Kesenian tidak hanya
terpaku pada satu jenis, begitupun halnya dengan kesenian Jawa. Kesenian Jawa
itu sendiri terbagi ke dalam beberapa kategori, antara lain seni tari, seni
musik, dan lainnya. Jaap Kunst, seorang musikologis Belanda yang terkenal,
mengumpulkan bahan untuk karyanya yang mendalam tentang musik Jawa selama akhir
tahun 1910-an dan 1920-an. Pada tahun 1934 ia meninggalkan Hindia Belanda dan
pulang ke negeri Belanda. Pada tahun yang sama, terbit dua jilid bukunya
mengenati teori dan tekhnik musik Jawa, Kunst pesimis terhadap masa depan musik
Indonesia.
Musik
Indonesia terdiri dari berbagai jenis, salah satu jenis musik yang berasal dari
daerah Jawa adalah Campursari. Genre musik campursari merupakan salah satu
bentuk hasil kreasi anak bangsa terhadap gamelan. Campursari telah melalui masa
kejayaannya, namun kini harus mengalami stagnasi. Pada awal kemunculannya,
campursari sempat mengundang pro dan kontra dari berbagai kalangan. Satu pihak
berpendapat bahwa campursari dapat merusak tradisi, namun pihak lain menyatakan
bahwa inovasi dalam campursari mutlak diperlukan agar musik ini bisa diterima
di berbagai kalangan, tidak hanya warga negara Indonesia namun juga dalam
tingkat mancanegara.
Sejarah Musik Campursari
Secara
harfiah campursari artinya campur aduk, campur baur atau gabungan dari beraneka
macam dan ragam. Campursari merupakan salah satu bentuk kesenian musik yang hidup
berasal dari Jawa. Bentuk musik ini merupakan perpaduan permainan alat musik berskala
nada pentatonis (tradisional Indonesia) dan berskala nada diatonis (Barat),
dimana dalam musik ini para seniman mencoba memadukan dua unsur musik yang
berbeda untuk dapat memunculkan suatu bentuk musik yang baru.Campursari
ini konon dipopulerkan oleh Ki Narto Sabdo melalui pertunjukan wayangkulit yang
dimainkannya, namun musik campursari yang disuguhkannya masih dalam
bentuk corak lama yaitu perpaduan gamelan asli dengan keroncong. Sementara
campursari yang adasekarang lebih dikenal dengan campursari modern yang
dipopulerkan oleh Manthous bersama saudara-saudaranya pada awal tahun 1993.
Manthos
dengan kepekaaan musikalitasnya mengadakan inovasi besar-besaran terhadap
campursari lama. Ia mencoba menggabungkan alat-alat musik tradisional jawa
klasik seperti kendang, gong dan gender dipadu dengan alat musik keroncong
seperti ukelele, cak dan cuk, seruling, bass betot, sertainstrument lainnya.
Perpaduan alat musik tersebut menghasikan irama yang lumayan enak,terasa
komplet, dan ada gregetnya jika dibandingkan irama kroncong maupun gending
jawaklasik sebelumnya.Manthos juga mencoba bereksperimen dengan memasukkan
instrument pengganti bass betot dan gitar klasik, yaitu dengan memasukkan
bass dan gitar elektrik serta keyboard(piano elektrik) untuk menggantikan
seruling dan ukelele.
Kehadiran
keyboard ini semakinmenghidupkan musikalitas campursari dan bunyi yang
dihasilkan sangat sempurna. Ada lagitambahan berupa seperangkat drum,
terciptalah kesempurnaan yang diinginkan dari musik campursari yang
sesungguhnya. Selain itu dia juga mengadopsi musik dangdut ke dalammusik campursari
ini walaupun tidak secara ekplisit, melainkan dalam beberapa baristertentu.
Pada pertengahan tahun 1990-an, muncullah musisi-musisi campursari sepertiMaryati,
Waljinah, Ngatirah, serta Didi Kempot
Tokoh Musik Campursari
Manthous
Manthous lahir di Desa
Playen, Gunung Kidul pada tahun 1950. Ketika berusia 16 tahun, Manthous
memberanikan diri pergi ke Jakarta. Pilihan utamanya adlaah hidup ngamen, yang
ia anggap mewakili bakatnya. Namun pada tahun 1969 dia bergabung dengan orkes
keroncong Bintang Jakarta pimpinan Budiman BJ. Kemudian pada tahun 1967,
Manthous yang juga piawai bermain bas mendirikan grup band Bieb Blues berciri
funky rock bersama dengan Bieb, anak Benyamin S. Bieb Blues bertahan hingga
tahun 1980. Kemudian Manthous bergabung dengan Idris Sardi, dalam grup Gambang
Kromong Benyamin S. selain itu, sebelumnya ia pernah juga menjadi pengiring
Bing Slamet ketika tampil melawak dalam Grup Kwartet Jaya. Berbekal dari
pengalaman itu, tahun 1993 Manthous mendirikan sendiri Grup Musik Campursari “Maju
Lancar” Gunung Kidul. Dari lagu ciptaannya Anting-Anting Getuk, Nyidam Sari,
Gandrung dan lainnya, mulai dari sinilah namanya mulai dikenal.
Didi Kempot
Didi Kempot,
demikian panggilan akrabnya dari nama asli Didi Prasetyo, yang lahir di Solo 31
Desember 1966. Anak dari Ranto Eddy Gudel, pelawak terkenal dari Solo ini
adalah seorang pengamen. Dari sinilah Didi dengan saudaranya, Mamiek Podang
mencipta lagu seperti Terminal Tirtonadi, Stasiun Balapan, Cucak Rowo, Tulung,
Moblong-Moblong dan lainnya. Lagu campursari Didi tidak hanaya terkenal di
dalam negeri melainkan sampai Belanda dan Suriname. Pada awalnya album Didi
tidak mendapat respon dari berbagai pihak karena mengusung aliran campursari
yang berbeda dengan artis campur sari yang terkenal sebelumnya yaitu Manthous. Tapi
pada akhirnya Didi menjadi salah satu icon campursari.
Campursari Sebagai Genre Musik Baru
Tahun
1990-an musik keroncong dan karawitan masih menyimpan masa keemasan dilihat
dari fungsinya sebagai seni hiburan yang populer. Pada masa itu mulai ada
kreasi-kreasi dari berbagai seni pertunjukan yang menggabungkan kedua jenis
seni musik tersebut. Kreasi juga timbul pada masing-masing jenis dengan
menciptakan komposisi baru yang tidak lazim dari segi bentuk, irama,
laras, dan teknik menyajikannya. Musik keronconcong dankarawitan masih ketat
mempertahankan ansambelnya, baik berupa alat dan teknik bermusiknya.Terlihat
sekali seniman-seniman seni musik ini masih setia menggunakan perangkatakustik
yang tidak memakai instrumen musik elektronik.
Seringkali
penikmat musik salah sasaran karena meminta lagu yang tidak bisa dilayani grup
yang tampil. Ambil saja contoh suatu orkes keroncong tidak dapat menyajikan
repertoar lagu/gendhing yang biasa disajikan oleh karawitan/gamelan. Begitupun
sebaliknya, suatu grup karawitan tidak bisa menyajikan lagu keroncong atau lagu
diatonis lainnya.
Akhirnya
munculah musik campursari yang mana merupakan modifikasi alat-alat musik
gamelan dikombinasi dengan instrumen-instrumen musik modern. Aransemen
musik campursari lebih fleksibel karena mengandung musik tradisional dan
modern, sehinggamusik campursari banyak digemari masyarakat dari tingkat masyarakat
daerah hingga masyarakat kota.
Jadi
musik campursari haruslah memiliki ruh nilai kearifan lokal yang tetap melekat pada musik campursari (intrumen, kostum, dan
lagu-lagunya). Akan tetapi, dalam perkembangannya saat ini memang
hanya beberapa musisi campursari yang tetap mempertahankan ruh campursari. Sedangkan sebagian besar musisi campursari justru mengabaikan ruh tersebut, sehingga yang muncul kemudian adalah penyimpangan dalam berbagai
pentas musik campursari yang membuat efek negatif terhadap musik campursari. Penggarapan karya dan penyajian campursari yang
asal-asalan dan mengabaikan nilai-nilai luhur
justru akan menjerumuskan musik campursari ke jurang degradasi luhuran kesenian
tradisional.
Sumber:
-
www.scribd.com/doc/34102558/Campur-Sari : makalah
Keberadaan Musik Campursari dalam Kebudayaan
Indonesia oleh Abdul Safiek Bachdar.
-
http://www.keroncong.web.id/article_read.php?a=66
: sejarah campursari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar