Dari sejarah perkembangannya, musik ini diperkirakan berasal
dari Portugis yang dibawa ke Indonesia sekitar abad ke-16. Ketika
itu, para pedagang Portugis, terutama kaum peranakan dan budak,
memperkenalkansajian musik dengan permainan alat musik seperti ukulele,
gitar, dan cello tanpa penyanyi. Dalam perkembangannya, musik ini mengalami
pengaruh dari musik-musik daerah di Jawa seperti Jakarta, Jawa Tengah, dan
Yogyakarta. Pada saat itu pula, sajian musik ini tidak lagi terbatas pada
permainan alat musiknya tetapi juga disertai dengan nyanyian oleh seorang
biduan.
Musik inipun semakin diterima masyarakat Indonesia,
khususnya di Pulau Jawa yang ditandai dengan munculnya kelompok-kelompok musik
keroncong di berbagai daerah di Jawa. Bahkan, musik ini sering dimainkan di
pinggir-pinggir jalan di malam hari. Secara umum, dalam permainan musik
keroncong, harmoni musiknya sangat terbatas. Demikian pula dengan
improvisasinyayang sangat dibatasi. Lagu-lagu umumnya memiliki bentuk dan
susunan yang sama. Syair-syairnya terdiri dari beberapa kalimat (umumnya
7 kalimat) yang diselingi dengan permainan alat musik. Instrumen yang dipakai
yaitu gitar melodi, bass, cello, ukulele,
cak, biola, dan flute. Beberapa musisi keroncong Indonesia yaitu Gesang,
Mus Mulyadi, Kelly Puspito, Hardiman, Sunarno, dan Mardjo Kahar.
Musik dan lagu dalam sajian kroncong, banyak cengkok dan
cenderung melambat dari ketukan yang asli. Keterlambatan dalam ketukan memang
sengaja dilakukan karena untuk memperindah cengkok itu sendiri. Improvisasi dan
ornamentasi dapat dilakukan dengan sangat bebas, asal masih dalam harmonisasi
kroncong. Gaya vokal kroncong dapat mem-pengaruhi durasi berbagai frase,
tergantung cara ‘ekspresi ber-lebihan’ atau vibrato. Lagu kroncong khas Indonesia
(kroncong, langgam, stambul, langgam Jawa). Istilah kroncong dibawa orang
Portugis ke Asia Tenggara sekitar abad 16, kemudian terdapat berbagai teori bahwa istilah
tersebut dari unsur onomatopoetic, yaitu musik berbunyi seperti ‘crong-crong’
dan sampai sekarang dikenal sebagai musik kroncong. Struktur harmoni dan melodi
keroncong kelihatan berasal dari music Barat, bahkan musik rakyat Portugis
paling berperan.
Musik dengan kesan melankolis biasanya dipentaskan dengan dua
jenis gitar (viola) dari Spanyol dan guitara dari Portugis. Jika viola
memainkan melodinya, maka guitar memainkan akor-akor
tonika-dominan-tonikadominan ….. secara terus menerus, subdominant dibunyikan
hanya pada saat tertentu. Prinsip demikian menonjol pada kroncong, selain itu,
gaya vokal diwarnai dengan vibrato yang keras (dianggap sebagai kuatnya
ekspresi emosi). Standar alat musik kroncong antara lain: ukulele, banjo, gitar
melodi, cello (dimainkan seperti gendang), kontra bas, biola serta flute.
Secara formal kroncong asli berdasarkan suatu kerangka dengan 28 birama, dibagi
masing-masing frase empat birama. Langgam kroncong kebanyakan dibagi empat frase, masingmasing dengan 8
birama (biasanya tanda birama 4/4) sesuai dengan prinsip langgam. Tokoh musik
kroncong antara lain: Gesang, Kusbini, Anjarany dan lain-lain. Cara permainan
ukulele dan banjo disebut onomatopoetic ‘cuk’ dan ‘cak’. Teknik permainan
kurang lebih mirip ‘beat’ – ‘off-beat’. Lagu keroncong yang terkenal antara
lain: Kr. Tanah Airku (Kelly Puspita), Lg. Bengawan Solo (Gesang), Stb. Baju Biru
(Hardiman).
Seni Musik merupakan salah satu bentuk kesenian
yang hampir dimiliki oleh setiap kebudayaan di dunia. Dengan beragam bentuk dan
kekhasannya menjadikan musik sebagai identitas bagi suatu kebudayaan. Corak
musik yang dimiliki oleh suatu kebudayaan tentunya berbeda dengan musik yang
dimiliki kebudayaan lain. Apakah itu dari segi alat musik ataupun irama langgam
lagu yang dimainkan. Pada masa sekarang musik telah menjadi bahasa yang
mendunia (universal). Beberapa orang sangat menikmati alunan musik dan lagu
dari suatu daerah tertentu, walaupun mereka tidak dapat memahami bahasa yang
digunakan oleh si penyanyi.
Indonesia memiliki kekayaan dalam segi suku dan
budaya. Dari keragaman budaya ini, patut kiranya kita ambil contoh musik
sebagai salah satu bentuk dari keragaman budaya. Tentunya yang kami maksudkan
disini ialah musik etnik bukan musik pop. Dalam hal ini kami akan mengambil
contoh yang lebih kecil yaitu musik keroncong. Musik ini sangatlah unik karena
tidak mencerminkan budaya dari salah satu daerah di Indonesia. Melainkan
sebagai bukti dari percampuran dari beberapa budaya yang kemudian melahirkan
musik yang khas Indonesia.
Lazimnya di Indonesia, sejarah selalu menuai
perdebatan, begitu pulalah kiranya dengan Sejarah Musik Keroncong di Indonesia.
Dalam tulisan ini akan dikemukakan salah satu versi dari sejarah kelahiran
musik Keroncong. Di akhir tulisan akan coba kami bahas perihal Musik Keroncong
di Kota Sawahlunto Sumatera Barat.
Musik Tuan & Para Budak
Portugis merupakan salah satu dari negara-negara
Eropa yang merintis perjalanan ke Timur. Pada tahun 1512 di bawah pimpinan
Alfonso de Albuquerque Bangsa Portugis mulai menginjakkan kakinya di nusantara.
Tujuannya ialah Sumber Daya Alam yang sangat dibutuhkan oleh orang-orang di
Eropa ketika itu, yakni rempah-rempah. Alfonso mengomandani beberapa
orang pelaut dan para budak. Para budak di dapat dari daerah kekuasaan Portugis
di India yakni Gowa, Malabar, dan Benggali.
Setelah kejatuhan Malaka ke tangan Portugis maka
berdiamlah di sana Bangsa Portugis beserta para budaknya tersebut. Para budak
tersebut tidak hanya berasal dari India saja, karena semenjak kedatangan
Portugis ke Ambon mereka juga membawa budak dari sana. Di Ambo-Maluku, Portugis
sempat mengobarkan perang dengan Kerajaan Ternate dan Tidore. Hasil dari
peperangan tersebut ialah Portugis terusir dari Maluku.
Malaka yang dikuasai Portugis menjadi benteng utama
dalam menghadapi Kaum Moor yang juga terdapat di kepulauan ini. Selain untuk menguasai jalur
perdagangan rempah-rempah tentunya. Bandar terbesar di Nusantara ini jatuh ke
tangan Portugis pada tahun 1511, setahun lebih awal dari kedatangan
mereka ke Indonesia. Di Malaka Portugis sempat membina kehidupan, beberapa
peninggalan Bangsa Portugis masih dapat kita saksikan di kota itu hingga kini.
Kemungkinan di Malaka inilah seni tradisional rakyat Portugis yang bernama fado
tersebar kepada para budak.
Fado
Fado merupakan seni tradisional rakyat
Portugis. Akar dari kata Fado merujuk ke bahasa Latin: fatum, dapat
kita padankan dengan kata fate dalam Bahasa Inggris yang artinya ialah
nasib. Karakteristik musik ini ialah irama dan syairnya yang
sentimental-melankolis. Menceritakan mengenai lautan, kehidupan masyarakat
miskin, ataupun persahabatan. Sebagian ahli berpendapat bahwa musik ini
memiliki akar pada peradaban Bangsa Moor di Semenanjung Iberia pada masa silam.
Keadaan yang jauh dari kampung halaman bagi pelaut
Portugis dan nasib sebagai budak yang ditahan oleh bangsa asing di negeri asing
oleh para budak, telah membuka dan berkembangnya masuknya musik fado
yang sentimental-melankolis. Pada perkembangannya musik ini tidak hanya
dimainkan oleh Bangsa Portugis akan tetapi juga oleh para budak mereka dari
Benggali, Malabar, Goa dan Maluku.
Pada tahun 1648 Belanda merebut Malaka dari
Portugis. Banyak tawanan perang yang ditawan beserta para budak mereka dibawa
ke Batavia yang pada masa itu merupakan pusat kekuasaan Belanda di Asia
Tenggara. Para tawanan ini kemudian ditempatkan oleh Belanda pada suatu kawasan
yang bernama Tanah Serani yang kelak bernama Kampung Tugu. Daerah ini berada di
tepi laut, udaranya panas, dan sangat jarang ditemukan air asin. Kalaupun ada
sumur, kebanyakan airnya asin pula.
Pada tahun 1661 para budak di Tanah Serani
dibebaskan oleh Belanda dengan syarat mereka harus berpindah keyakinan dari
Katholik yang merupakan agama resmi Bangsa Portugis ke Protestan yang menjadi
agama resmi Bangsa Belanda. Di kampung baru mereka, para mantan tawanan perang
dan budak Portugis ini menggeluti usaha di bidang pertanian, berburu, dan
mencari ikan. Dalam waktu senggang, mereka sering teringat lagi akan nasib dan
kampung halaman nun jauh di mata. Lantunan musik fado nan melankolis
yang pernah mereka nyanyikan sewaktu di Malaka belumlah hilang dari ingatan.
Mereka masih memiliki kepandaian bermusik, karena musik merupakan curahan jiwa,
bentuk ekspresi diri akan kehidupan yang mereka jalani. Banyak penyair-nyair
zaman lampau maupun zaman sekarang menciptakan musik dengan mengambil
insipirasi dari realitas kehidupan yang mereka jalani.
Maka mulailah kembali mereka melantunkan musik fado
yang telah menjadi identitas mereka kaum peranakan. Dengan menggunakan alat sederhana
seperti rajao, biola, gitar, rebana, cello, dua jenis ukulele yakni cak dan
cuk, dan seruling. Musik ini rupanya disenangi oleh banyak orang dan
akhirnya berkembang.
Terdapat suatu keanehan yang kami temui dalam
mempelajari sejarah musik Keroncong, yakni ditemukannya dua jenis seni musik
yang sama-sama berasal dari Portugis yang pertama iala fado, seperti
yang kita jelaskan di atas dimana musik fado merupakan suatu seni
musik yang berasal dari Bangsa Portugis yang memiliki karakteristik
sentimental-melangkolis. Dimana syair-syair dari lagu ini menceritakan mengenai
lautan, kehidupan masyarakat miskin, dan persahabatan. Atau pendek kata
menceritakan mengenai parasaian hidup.
Sedangkan moresco merupakan suatu seni
musik yang diiringi tarian, berasal dari Kejayaan Peradaban Islam di Andalusia.
Seni ini juga terdapat di Portugis, karena beberapa Bangsa Moro berkulit hitam
yang berasal dari Pantai Utara Afrika masih menetap di negara tersebut. Selain moresco
juga dikenal morisca yakni salah satu jenis gitar yang biasa digunakan
oleh Bangsa Moor. Yang mana gitar ini berbentuk oval dan memiliki banyak
lubang. Hal ini dikarenakan gitar yang mereka pakai merupakan perkembangan dari
alat musik sittar yang biasa dipakai oleh Bangsa Arab.
Moresco sendiri merupakan seni musik yang mengiri
tarian anggar antara hulubalang Muslim dan Kristen. Pada permulaannya,
moresco merupakan seni musik dan tari yang mengisahkan kisah-kisah Perang Salib
antara umat Muslim dan Kristen dalam kebudayaan Bangsa Moor. Moresco adaah seni
yang bernafaskan Islam sedangkan seni non-Islamik disebut dengan Cafrinho yang
berasal dari kata kafir yakni non-Islam. Istilah Cafrinho digunakan
untuk menamakan kaum heathen atau kaum creolist Portugis di Goa-India.
Sedangkan dalam perkembangan musik keroncong
disebutkan bahwa moresco merupakan bentuk awal dari perkembangan musik
ini. Hal ini mungkin saja karena pada rentang waktu 1891-1903 di Surabaya yang
merupakan kota pelabuhan terbesar di Hindia Belanda masa itu berdiri sebuah
grup keroncong yang bernama KOMEDI STAMBOEL. Grup ini merupakan grup
pertunjukan bergaya Istanbul, mereka mengadakan pertunjukan dengan cara
berkeliling Hindia Belanda, Singapura, dan Malaysia. Pada umumnya pertunjukan
mereka mengisahkan Hikayat 1001 Malam, Opera Eropa maupun cerita rakyat, serta
hikayat-hikayat dari Timur Tengah, Persia, atapun India. Pada masa inilah
dikenal musik keroncong dengan Stambul I, II, dan III.
Moresco yang bernafaskan keislaman lazimnya
dinyanyikan vokalis perempuan dengan nasal voice, karena diharamkan
bagi mereka menyanyi dengan membuka mulut di hadapan publik. Nasal voice tidak
lazim bagi vokalis Portugis, sehingga mereka menggantikannya dengan suara falsetto
yang hanya cocok untuk suara laki-laki namun tidak untuk suara perempuan.
Akibatnya vokalis perempuan terdengar berteriak bukan lagi bernyanyi, seperti
halnya suara para vokalis perempuan dalam menyanyikan lagu keroncong pada tahun
1920-an di Indonesia. Ternyata kasus yang sama terjadi juga pada fado Portugis
yang berasal dari Moresco, seperti lagu Folgadinho berikut ini dengan nada
tertinggi pada f#2. Namun yang menarik adalah imitasi nasal voice dari
vokalis perempuan Portugis sebagai tuntutan dalam menyanyikan sebuah Moresco
menghasilkan warna yang berbeda dengan para sindhen Jawa, karena lebih
merupakan sebuah jeritan falsetto dibandingkan dengan vokalis laki-laki
yang bebas membuka mulut.
Folgadinho menjadi julukan bagi seseorang yang suka
bermalas-malasan. Khususnya bagi orang Moor di Portugal yang gemar bekerja,
istilah Folgadinho menjadi sebuah sindiran. Syair lagu Folgadinho bersifat parodial
dan responsorial yang selalu diakhiri dengan refrain. Sebagai
fado pengiring tarian refrain dinyanyikan tutti chorus sambil bertepuk
tangan, sebagai pengganti waditra adufe atau rebana Arab, yang asalnya
adalah bunyi kerincing gelang kaki si penari Moor di istana Portugal pada abad
ke-12, seperti halnya penari Katakali dari India, atau penari Ngremo
gaya Jawa Timuran.
terima kasih infonya......
BalasHapussangat menarik dan bermamfaat......
mantap.
wah menambah pengetahuan seputar sejarah musik keroncong nih, terimakasih
BalasHapus